TANJUNG SELOR – Netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) menjadi salah satu aturan yang menjadi penekanan saat pesta demokrasi tahun depan.
Aturan yang mengikat, membuat para ASN tidak bisa menunjukkan keberpihakannya kepada salah satu calon. Baik di Pemilihan Legislatif (Pileg), Pemilihan Presiden (Pilpres), maupun Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Perlu dipahami, netralitas ASN tidak sekadar larangan dengan pose jari tertentu sampai menekan fitur ‘suka’ pada postingan salah satu calon peserta pemilu.
Bahkan, ASN tidak boleh terlibat dalam gerakan pemenangan terselubung salah satu calon. Berdasarkan pengalaman Akademisi di Kalimantan Utara Siti Nuhriyati, yang pernah menjadi penyelenggara pemilu. Netralitas ASN sulit terjaga, karena sanksi yang diberikan tidak memberi efek jera.
Menurut dia, banyak regulasi yang sudah digunakan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) untuk menangani pelanggaran ASN. Akan tetapi, proses rekomendasi di tingkat Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) justru berlarut-larut.
Ketika rekomendasi sanksi dari KASN diturunkan kepada kepala daerah, sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK). Sanksi yang dipilih justru paling ringan, karena ASN bersangkutan merupakan tim terselubung kepala daerah saat pemilu.
“Sudah prosesnya lama di KASN, ketika turun ke PPK dikenakan sanksi yang paling ringan karena tim mereka. Ini fakta yang saya sampaikan, karena pernah tangani sanksi bagi ASN,” jelas Nuhriyati, belum lama ini.
Saat itu, Nuhriyati sudah mencoba mendorong penjatuhan sanksi yang lebih berat dan memberikan efek jera. Tapi, fakta di lapangan tidak ada sanksi dengan kriteria tersebut sampai sekarang. Dia pun merasa prihatin, masih melihat pengerahan terselubung ASN dalam kontestasi pilkada.
“Potensi mereka (ASN) sangat besar (dalam pemenangan pilkada). Ketika terjadi pengerahan untuk memilih salah satu calon di tubuh birokrasi yang dikendalikan pemerintah. Itu yang menciderai demokrasi,” tegasnya.
Minimnya sanksi dengan efek jera sampai harapan mendapat jabatan, pada akhirnya membuat sejumlah oknum ASN gelap mata meskipun paham aturan. Hal tersebut yang nghambat tujuan dari masifnya sosialisasi penyelenggara pemilu. Lebih lanjut, Nuhriyati menilai keikutsertaan petahana dalam pilkada menyimpan bahaya tersendiri terhadap nilai demokrasi.
“Siapa ASN yang tak tunduk, dari sekian ratus ribu ASN. Hanya satu dua orang saja yang berani. Apalagi kalau ASN sudah menduduki jabatan, ketika tidak berpihak, si ASN bisa saja langsung nonjob,” tuturnya.
Solusi permasalahan ini, salah satunya ada di tangan KASN dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). KASN harus bisa menjatuhkan sanksi yang berat. Lalu, Kemendagri memberi intervensi agar PPK di pemda memutuskan pemberian sanksi berat yang akan menimbulkan efek jera.
Sementara itu, Koordinator Divisi Hukum, Pencegahan, Partisipasi dan Hubungan Masyarakat Bawaslu Bulungan Riswan meyakini, tentu tiap ASN sudah mengetahui hal yang tidak boleh dilanggar di momen pemilu.
Sosialisasi pengawasan partisipatif yang dilakukan pada kalangan ASN, bertujuan untuk menyampaikan informasi terbaru perihal netralitas ASN. “Ketika sosialisasi dilaksanakan, sebenarnya lebih kepada meng-update informasi dari sisi regulasi dan peraturan. Agar ASN bisa lebih paham, walaupun mereka sampaikan hampir setiap apel selalu diingatkan,” ujar Riswan.
Riswan berharap ada komunikasi dan koordinasi aktif antarlembaga pemerintah terkait pengawasan pemilu. Jika terjadi pelanggaran, Bawaslu tetap akan memproses sesuai tahapan. Seperti mengklarifikasi dan menindaklanjuti ke Komisi ASN.
Netralitas ASN menjadi salah satu dari tiga isu krusial, yang mendapatkan atensi khusus berdasarkan rilis Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) 2024. Upaya peningkatan netralitas ASN, akan diimplementasikan dalam bentuk sosialisasi masif. (kn-2)