Di Maroko yang ada di Garut, Maroko yang dari Afrika didukung dengan sesekali mengadakan nonton bareng di balai desa. Nama desa yang saat hujan jalannya sulit dilalui kendaraan roda dua sekalipun itu konon terkait dengan kepala desa yang pertama.
ERFAN RAHMAN, Garut
DARI pusat kota Garut, dibandingkan ke Maroko, ternyata lebih dekat ke Bandung. Cuma dua jam jarak yang memisahkan wilayah yang terkenal olahan dodolnya itu dengan ibu kota Jawa Barat tersebut.
Sedangkan ke Maroko? Belasan jam? Tidak juga karena Maroko di sini bukan Maroko yang di utara Afrika sana. Melainkan Desa Maroko yang masuk Kecamatan Cibalong, Kabupaten Garut.
Tapi, gara-gara Maroko nun di tepi Laut Mediterania itu pula yang membuat Maroko yang lebih dekat dengan pesisir selatan Garut itu jadi terkenal. Apalagi kalau bukan karena capaian hebat Singa Atlas, julukan tim nasional Maroko, yang lolos ke semifinal Piala Dunia 2022 di Qatar. Mereka jadi tim Afrika pertama yang berhasil mencatat prestasi tersebut.
“Ya, kami bersyukur karena desa kami jadi banyak dikenal orang belakangan. Tentu tak lepas dari kiprah timnas Maroko,” ujar Kepala Desa Maroko Suryana kepada Radar Garut Kamis (8/12) pekan lalu.
Padahal, sebelumnya, bahkan warga Garut sendiri mungkin tidak banyak yang tahu tentang desa tersebut. Sebab, Desa Maroko lumayan di pelosok, berjarak 3–4 jam perjalanan darat dari pusat kota yang pernah dikunjungi pelawak legendaris Charlie Chaplin itu.
Tentang nama, Suryana mengaku desanya tak punya catatan tertulis kenapa bisa memiliki kesamaan dengan nama Negeri Maghribi itu. Yang dia pernah dengar dari cerita para sesepuh dan orang tua, kepala desa pertama di sana pada 1964 konon berasal dari Maroko.
“Entah warga asli Maroko atau keturunan Maroko,” katanya.
Tapi, yang jelas, gara-gara kiprah Maroko dan sorotan luas yang mengikutinya, warga desa yang berpenduduk 5,9 ribu jiwa tersebut juga jadi keranjingan nonton Piala Dunia. Tim idolanya? Apa lagi kalau bukan Maroko.
“Selain karena kesamaan nama, juga karena warga menganggap Maroko perwakilan tim dari negara Islam yang tersisa di Piala Dunia. Kebetulan juga banyak anak muda di sini yang suka bola,” kata Suryana.
Tapi, di balik kebanggaan karena desa yang dia pimpin dikenal luas, Suryana tak lupa juga mengungkapkan keprihatinan. Pemicunya, minimnya infrastruktur di desa yang berjarak 95 kilometer dari pusat kota Garut itu.
Jalan-jalan di desa yang penduduknya mayoritas bermata pencaharian sebagai petani itu belum beraspal. Dalam kondisi hujan seperti sekarang, roda dua sekalipun sulit melalui, apalagi roda empat.
Ini belum bicara minimnya fasilitas olahraga. Anak-anak muda Maroko, lanjut Suryana, sebenarnya sangat suka olahraga dan tak cuma sepak bola. Tapi, mereka terbentur persoalan tempat untuk mengekspresikan atau menempa diri.
“Kami sungguh berharap bantuan pemerintah agar fasilitas dan infrastruktur diperbaiki,” ucapnya.
Untuk sementara waktu, mereka mengekspresikan kecintaan pada olahraga lewat tayangan televisi. Suryana menuturkan, warga lebih sering menonton di rumah masing-masing.
“Tapi, sesekali warga menonton bareng Piala Dunia di balai desa,” ujarnya. Yang didukung dan didoakan untuk terus melaju? Ya, apa lagi kalau bukan tim yang membuat nama desa mereka kondang: Maroko! (*/c7/ttg/jpg/uno)