Wednesday, 1 October, 2025

Kisah Yayuk Jumiatin, Kader PKBM dan Satgas PPA yang Menangani Masalah Sosial

Sebagai kader PKBM dan satgas PPA, Yayuk Jumiatin harus siaga 24 jam. Tak jarang, dia memakai uang pribadinya untuk membantu korban. Kasus paling sulit adalah menangani kekerasan pada anak.

GALIH ADI PRASETYO, Surabaya

SEJAK 2016, Yayuk Jumiatin didapuk menjadi satgas perlindungan perempuan dan anak (PPA). Berselang tiga tahun, pada 2019, dia juga dilantik sebagai kader Pusat Krisis Berbasis Masyarakat (PKBM). Dua peran itu membuatnya tak bisa lepas dari persoalan sosial.

Misalnya, Kamis (9/11) pekan lalu Yayuk memberikan penjelasan kepada Asih. Asih bingung karena cucunya yang sudah masuk usia sekolah tidak bisa mengenyam pendidikan. Sebab, akta lahir cucunya dibawa sang ibu.

Anak Asih dan istrinya telah bercerai. Ketika berpisah, dokumen anak dibawa ibunya. Saat anak Asih hendak mengambil berkas itu, mantan istrinya marah-marah. “Sementara laporan ini akan kami tampung untuk nanti ditindaklanjuti. Kami minta Ibu Asih berdoa agar hal ini bisa selesai,” ujar Yayuk.

Kader PPA dan PKBM bertugas menangani masalah sosial. Keduanya berada di bawah naungan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3APPKB) Surabaya. Yang membedakan, lingkup kerja PPA hanya pada perempuan dan anak.

“Paling banyak soal KDRT. Namun, akhir-akhir ini banyak juga masalah ekonomi dan pendidikan. Seperti laporan soal putus sekolah,” paparnya.

Sebagai kader, Yayuk harus bisa memberikan solusi atas persoalan yang dialami warga. Tak jarang, dia harus merogoh uang pribadinya untuk membantu orang yang mendapatkan masalah. Misalnya, saat menolong ibu dan anak yang diusir keluarga suaminya.

“Sudah diajukan rusun, tapi kan perlu waktu. Akhirnya, saya bersama yang lain (lurah, babinsa, bhabinkamtibmas, dan lainnya) patungan mencarikan hotel. Ternyata untuk mendapatkan rusun harus antre. Akhirnya, kami carikan kos-kosan,” terangnya.

Yayuk harus selalu siap dihubungi bahkan saat malam sekalipun. Sebagai kader, mentalnya sudah teruji. Sebab, dia menghadapi orang dengan berbagai latar belakang yang berbeda-beda. Termasuk yang psikisnya tidak stabil.

“Seperti Mei 2023, kami berhasil mengevakuasi anak yang mendapat kekerasan dari orang tuanya sendiri. Bahkan, mengarah ke seksual juga karena sampai kecanduan memegang alat vital pria,” ucapnya.

Menurut Yayuk, itu adalah kasus terberat yang pernah dia tangani. Korbannya, sebut saja Pelangi, masih berusia 9 tahun. Dari laporan awal, Pelangi sering mendapatkan hukuman dari orang tuanya. Tetangga kiri kanan resah karena dia mengalami kekerasan fisik dan verbal.

“Sampai rambutnya dipotong pitak sama orang tuanya. Lengan disundut rokok. Alasan orang tuanya, cara itu agar Pelangi mengerti atas kesalahannya. Usut punya usut, dulu si ibu mendapat perlakuan yang sama dari orang tuanya,” paparnya.

Yayuk bersama perangkat lain sudah mencoba berkomunikasi dengan orang tua Pelangi. Sampai dinas pun turun tangan memberikan pendampingan dari psikolog. Namun, tetap saja orang tua Pelangi enggan melepaskannya. Ancaman laporan ke polisi tak digubris. Sebab, ibu Pelangi sudah pernah dipenjara karena kasus kekerasan.

“Kami hanya bisa memberikan peringatan tegas. Jika kejadian serupa terulang, Pelangi akan diambil. Sekarang Pelangi sudah berada di rumah aman. Mendapat tempat tinggal yang layak. Sekaligus fasilitas dari Pemkot Surabaya untuk memulihkan kondisinya,” ujarnya.

Menangani masalah sosial hingga menemukan solusinya membuat Yayuk betah menjadi kader. “Ada kepuasan tersendiri yang saya rasakan, apalagi ini berkaitan dengan kemanusiaan,” ungkapnya. (*/c6/aph/jpg)

Artikel Terkait

TINGGALKAN PESAN

Silahkan masukkan komentar anda
Silahkan masukkan nama anda

- Advertisement -

Artikel Terbaru