Tiap hari ratusan orang yang bekerja atau tinggal di sekitar kawasan pengolahan nikel terkena ISPA. Banyak pemilik kapal yang kini juga memilih jadi pengangkut dan pengantar logistik kru kapal besar ketimbang mencari ikan yang wilayah tangkapnya kian terbatas.
SAHRUL YUNIZAR, Morowali-Dinda Juwita, Jakarta
PUSKESMAS Bahodopi, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, nyaris tidak pernah sepi. Infeksi saluran pernapasan akut atau ISPA adalah salah satu gangguan kesehatan yang paling sering dialami mereka yang berobat. Baik pekerja di industri pengolahan nikel yang bertebaran di sana maupun warga setempat.
Catatan akhir tahun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Sulawesi Tengah (Walhi Sulteng) tahun lalu, misalnya, menunjukkan 52 persen warga Desa Fatufia, Bahodopi, yang memeriksakan kesehatan di puskesmas setempat mengalami ISPA. Aktivitas PLTU captive batu bara di kawasan Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) diduga memicu terjadinya pencemaran udara.
Pemerintah Kabupaten Morowali juga mencatat dari total 61 ribu kasus ISPA di Morowali, 49 ribu di antaranya muncul di Bahodopi. Berbagai upaya sudah dilakukan untuk menekan angka tersebut. Termasuk memasang jaring-jaring penghalang asap di sekitar PLTU captive batu bara. Namun, belum cukup.
Pada Rabu (28/2) pagi akhir bulan lalu, seorang pasien bernama Parhan termasuk yang mendatangi Puskesmas Bahodopi. Diagnosis dokter menyatakan, Parhan terkena ISPA.
“Baru kemarin terasa badan kurang enak,” kata dia saat berbincang dengan Jawa Pos.
Pria 42 tahun itu mengaku sudah beberapa kali bermasalah dengan infeksi tersebut. Bahkan dalam setahun bisa dua sampai tiga kali.
“Cepat sembuhnya, tapi mudah juga kena,” tambah perantau yang datang dari luar Sulteng dan telah dua tahun bekerja di Morowali itu.
Informasi yang dikumpulkan Jawa Pos, banyak pekerja lain yang mengalami hal serupa. Demikian pula masyarakat Bahodopi. Di hari yang sama dengan Parhan, misalnya, seorang balita diperiksa di Puskesmas Bahodopi. Lagi-lagi, ISPA.
“Pasien anak-anak ada, dewasa, usia muda ada,” ujar Kepala Puskesmas Bahodopi Abdul Malik.
Menurut Malik, harus ada pemeriksaan lebih jauh sebelum menyebut pencemaran udara sebagai penyebab tingginya angka ISPA di Bahodopi. Namun, dia tidak menampik banyaknya pasien yang mengalami infeksi tersebut.
Di seluruh wilayah Bahodopi, ada 38 jaringan puskesmas. Terdiri atas klinik dan tempat praktik dokter. Setiap hari mereka melaporkan angka pasien kepada Puskesmas Bahodopi. Jika dikalkulasi, yang terkena ISPA per hari di Bahodopi bisa tembus ratusan orang.
Aktivitas industri pengolah nikel di Bahodopi juga berpengaruh terhadap sumber mata pencaharian masyarakat setempat. Meski terletak di pesisir, saat ini sudah tidak banyak nelayan di Morowali.
Kapal-kapal kayu yang biasanya dipakai mencari ikan kini lebih sering digunakan sebagai angkutan logistik untuk perusahaan-perusahaan nikel setempat. “Biasanya, ada yang telepon dari kapal (besar yang terkait dengan perusahaan pengolahan nikel). Minta dikirim beras, telur, pisang, sayur, macam-macam,” kata Umar, salah seorang pemilik kapal kayu, sambil menunjuk kapal-kapal raksasa yang tengah menunggu giliran untuk sandar di jetty (dermaga).
Saat berbincang dengan Jawa Pos, Umar tengah mengutak-atik mesin kapal kayu milik temannya. Sambil menunjukkan dua kapal miliknya yang bisa disewa kapan saja.
“Sekarang susah cari ikan, ikan takut baling-baling kapal besar,” ucap pria berusia 44 tahun tersebut.
Menurut Walhi Sulteng, aktivitas kapal-kapal besar terkait perusahaan-perusahaan smelter nikel di Bahodopi bukan satu-satunya penyebab nelayan kesulitan mencari ikan. Ekstraksi ore nikel di kawasan industri menyebabkan sungai tercemar.
Itu bisa dilihat dari warna air sungai di Bahodopi yang kuning kecokelatan. Dari hulu, airnya mengalir sampai bermuara di laut. “Otomatis para nelayan itu terbatas sudah wilayah tangkapnya. Karena sudah tercemar air lautnya,” ucap Kepala Departemen Advokasi dan Kampanye Walhi Sulteng Aulia Hakim.
Namun, Media Relations Head PT IMIP Dedy Kurniawan membantah kesulitan nelayan mencari ikan dampak operasional perusahaan.
“Kawasan IMIP adalah industri baja antikarat berbahan dasar nikel. Kawasan IMIP bukan tambang. Jadi, kalau kami ditanya aktivitas smelter yang ada di dalam kawasan IMIP mencemari sungai dan laut, tentu saja jawaban kami tidak,” tegasnya.
Berkenaan dengan kasus ISPA di Bahodopi, Dedy menyebut, perusahaan memang tidak memberikan dana kompensasi. Namun, sebagai gantinya, sejak sepuluh tahun lalu hingga saat ini, fasilitas kesehatan berupa klinik IMIP menyediakan pengobatan gratis kepada warga Bahodopi.
“Selain itu, awal tahun ini kami juga telah menyelesaikan pembangunan rumah sakit tipe D di selatan Kecamatan Bahodopi untuk mendukung layanan kesehatan bagi warga. Dalam tahun ini juga, kami akan membangun lagi satu unit rumah sakit di bagian utara Kecamatan Bahodopi dengan maksud dan tujuan yang sama,” jelas Dedy.
Bagi Walhi Sulteng, berbagai kegiatan tanggung jawab sosial yang digagas IMIP belum sebanding dengan dampak lingkungan yang terjadi di masyarakat. Tapi, Dedy enggan berkomentar panjang. “Yang jelas, apa pun yang dilakukan perusahaan kami, tentu saja akan ada sejumlah pihak yang selalu mengatakan itu tak pernah cukup atau sebanding. Kami bukan dewa atau malaikat yang bisa menyenangkan hati setiap pihak,” tuturnya. (*/c6/ttg/jpg)