Pasien Ujang Bustomi kebanyakan timses yang cemas dikejar-kejar caleg atau dilaporkan polisi. Level pengobatan dinasihati dulu, kalau tak mempan dirukyah, dan jalan terakhir dimandikan.
M.HILMI SETIAWAN, Kab Cirebon
SARUNG tangan karet masih melekat di kedua tangan. Perlahan Ujang Bustomi menyeka keringat di wajah.
Jam baru sedikit lepas dari pukul 14.00 pada Minggu (25/2) lalu. Ujang baru selesai menangani pasien dengan beragam keluhan di sesi siang yang dimulai sekitar pukul 12.30. Hanya dalam waktu satu setengah jam sudah 150 pasien yang dia tangani di pendopo di seberang tempat tinggalnya di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Terhitung sangat cepat dan tentu saja lumayan melelahkan yang tergambar dari keringat di wajahnya.
Dalam satu hari, Padepokan Anti Galau milik Ujang membuka dua kali sesi pelayanan. Masing-masing menyediakan kuota 150 orang. Praktik siang dimulai pukul 12.30. Praktik malam dilaksanakan mulai pukul 20.30.
Pelayanan setiap pasien cukup singkat. Sekali panggil 5–10 pasien terlayani. Pada Minggu siang yang ramai itu, Jawa Pos harus antre bersama para pasien lain karena Ujang baru bisa melayani tamu untuk keperluan lain selepas pukul 14.00.
Pria kelahiran 9 Februari 1982 itu menjelaskan, secara spesifik jarang ada pasien yang menulis atau menunjukkan identitasnya sebagai tim sukses (timses) atau calon anggota legislatif (caleg). Tapi, pada kasus tertentu, Ujang sudah kenal sosok yang berobat.
Ketika ada yang datang dan omongannya melantur, Ujang segera tahu bahwa pemicunya pasti terkait kegagalan dalam kontestasi pemilu. Untuk Pemilu 2024, golongan timses mendominasi ketimbang calegnya. Dia memperkirakan tidak kurang dari 70 orang timses yang berkonsultasi karena kena mental. Sedangkan untuk caleg lebih sedikit, tetapi jumlahnya lebih dari 10 orang.
“Mereka itu (caleg dan timses) intinya tidak siap kalah. Jadi, mentalnya seperti itu, jadi error (galat),” katanya.
Ujang mengelompokkan tingkat serangan mental menjadi tiga: ringan, sedang, dan berat. Kalau sudah masuk kategori berat, dia menganjurkan untuk ikut perawatan di rumah sakit jiwa.
Hingga saat ini belum ada yang sampai kategori gangguan mental berat. Umumnya para timses dan caleg yang datang mengeluh sulit tidur karena dihantui kecemasan berlebih.
Bagi timses, dia merasa cemas karena dikejar-kejar calegnya. Apalagi sudah diserahi uang yang begitu besar dari si caleg. Mereka khawatir uangnya diambil lagi atau bahkan dilaporkan ke polisi. Harapannya dapat suara tinggi, tetapi ternyata zonk.
Ujang menyebut untuk kondisi serangan mental yang agak berat, biasanya pasien datang dengan meracau. “Ada juga yang datang hanya pakai celana dalam,” katanya.
Untuk menghadapi orang-orang yang terkena serangan mental itu, disesuaikan dengan tingkat keparahannya. Terapinya, kata Ujang, tidak terlalu rumit. Untuk yang kategori serangan mental ringan, cukup diajak ngobrol.
Sembari berbincang, Ujang biasanya menyisipkan nasihat. Khususnya mengingatkan niat untuk menjadi caleg harus ditata. Sehingga harus siap kalah atau siap menang.
“Kalau dinasihati belum mempan, digunakan metode atau proses rukyah,” paparnya.
Adakalanya ketika sudah dirukyah, pasiennya tetap belum sembuh. Cara terakhir adalah dimandikan. Ujang mengatakan, pada prinsipnya orang yang stres atau depresi itu otot-otot di bagian belakang tengah mengeras. Dengan dimandikan, otot tersebut menjadi lebih rileks.
Bagi dia, rutin mandi malam lebih ampuh menghilangkan stres dibandingkan mengonsumsi obat-obatan. Bagi orang-orang yang depresi atau terkena mental, bisa tidur dengan normal sudah cukup baik
Berdasar pengalamannya menangani pasien, Ujang mengingatkan yang mau terjun ke politik harus bisa menjaga niat. Jika niat awalnya sudah baik, hasilnya akan baik.
Walaupun kalah atau tidak terpilih, tidak sampai berujung depresi. Sebaliknya, jika niatnya sudah tidak baik, hasilnya juga tidak baik. Misalnya, ingin maju sebagai calon rakyat dengan tujuan mendapatkan proyek-proyek uang negara. Kemudian sampai nekat menjual harta untuk modal.
Kalau niatnya demikian, ketika yang bersangkutan kalah, akan memengaruhi mental. Apalagi jika harta bendanya sudah habis terjual untuk ongkos politik.
Ujang menyebut masuk ke politik itu harus memiliki jiwa petarung. Juga tidak boleh baperan.
“Yang abadi di politik itu kan kepentingan. Berbeda dengan persaudaraan seperti saya dengan Anda, abadi selawase,” tuturnya.
Dardi, ketua RW III Desa Sinarrancang, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon, tempat Padepokan Anti Galau berada, mengatakan, Ujang bersedia menerima uang pemberian dari pasiennya.
“Pasien yang sudah berobat pulangnya menaruh uang di kardus,” katanya.
Besarannya diserahkan ke pasien. Ada yang Rp 50 ribu, Rp 100 ribu, atau pecahan lainnya. Pasien yang sudah berobat akan mendapatkan air putih dalam kemasan botol plastik.
Pasien dengan tingkat kesakitan yang biasa pulang dengan membawa satu botol air mineral. Tetapi, untuk tingkat kesakitan lebih tinggi, akan mendapatkan tambahan botol.
“Jika mendapatkan botol berlabel merah, ada dugaan penyakitnya mendapatkan gangguan dari pihak luar,” kata Dardi.
Kemampuan Ujang menangani penyakit, tambah Dardi, menurun dari orang tuanya yang wafat pada 2004. Ujang lantas melanjutkannya. Sampai akhirnya dia mendirikan Padepokan Anti Galau pada 2013.
Selain membuka layanan pengobatan, Padepokan Anti Galau membuka pesantren. Saat ini jumlah santrinya 120 orang. Mereka berasal dari Banten, Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan sejumlah daerah lain. Aturan yang diterapkan di sini kepada para santri: disiplin puasa, zikir, dan ngaji. (*/c19/ttg/jpg)