TANJUNG SELOR – Penyematan nomenklatur pada satuan pendidikan dinilai bisa menimbulkan paradigma faforitisme. Seharusnya itu ditiadakan, karena akan berpengaruh pada sistem zonasi yang menjadi kebijakan pemerintah.
Hal itu disampaikan Kepala Balai Penjaminan Mutu Pendidikan (BPMP) Kaltara, Jarwoko. Di Kaltara perlahan sekolah Boarding School itu ditiadakan. Meskipun, sekolah Boarding School masih diterapkan di KTT.
“Semua sekolah itu harusnya sama, tidak ada yang diunggulkan. Tahun ini akan disesuaikan. Karena kehadiran pemerintah, harus memberikan pelayanan yang multi parenting terhadap setiap satuan pendidikan,” terang Jarwoko, belum lama ini.
Dikatakan Jarwoko, pemerataan dilakukan supaya tidak menimbulkan disparitas. Nomenklatur sekolah unggulan sebenarnya tidak menjadi persoalan. Jika setiap tahun ada tambahan sekolah unggulan pada satuan pendidikan yang berbeda. Misalkan, dalam setahun mendirikan satu sekolah unggulan. Maka tahun berikutnya harus bertambah.
“Ketika nomenklaturnya menjadi sekolah unggulan, setiap orang tua menginginkan anaknya di sekolah tersebut. Jangan sampai melakukan berbagai cara, untuk lolos dari sistem zonasi yang sudah ditetapkan pemerintah,” tuturnya.
Kebijakan soal zonasi, mulanya bertujuan untuk memudahkan peserta didik mengakses pendidikan di zonanya. Ketika ada orang tua atau peserta didik ingin bersekolah di luar zona yang telah ditentukan. Hal itu tidak menjadi permasalahan. Namun, hal itu hanya pada satuan pendidikan swasta bukan negeri.
Adanya penerapan sistem zonasi, agar memberikan hak yang sama bagi siapapun. Untuk di Kaltara, penerapan zonasi masih ada kelonggaran. Karena adanya porsi berbeda dari berbagai jalur, seperti zonasi, afirmasi, dan prestasi.
Menurut dia, idealnya dengan adanya pengaturan zonasi setiap peserta didik dalam satu zona bisa ditampung, sesuai kemampuan sekolah. “Jika dalam satu zonasi tidak bisa ditampung oleh sekolah yang ada. Maka zonasi yang diperkecil,” ungkapnya.
Selanjutnya, ketika dalam satu zonasi ada sekolah yang kurang daya tampung. Maka pengaturan zonasi yang harus diperluas. “Jadi tak boleh berkompetisi di dalam zona. Tapi yang terjadi di Kaltara, masih alami yang namanya kelangkaan. Seperti jumlah peserta didik lebih banyak, dibandingkan jumlah sekolah,” ujarnya.
Tugas pemerintah, agar peserta didik itu diidentifikasi. Zona mana saja yang sering alami kekurangan peserta didik. Identifikasi sejak awal dianggap penting, untuk mengetahui peserta didik yang memang berada di zona yang telah ditentukan. Dengan dibuktikan identitas kependudukan, seperti kartu keluarga (KK).
Jika daya tampung sekolah masih alami kewalahan, pemerintah harus hadir dengan menambah daya tampung sekolah. “Tahun berikutnya, pemerintah daerah baru usulkan ke pusat minta tambahan alokasi anggaran,” imbuhnya.
Ketika ada sekolah dengan daya tampung belum mencukupi. Mestinya sistem zonasi yang diperluas. Tak sekadar memikirkan sistem zonasi. Akan tetapi, ketersedian infrastruktur pendukung setiap sekolah harus juga diperhatikan. (kn-2)