Friday, 3 October, 2025

Geliat Industri Pengolah Nikel di Morowali dan Dampak ke Sekitar, Setiap Hujan Selalu Banjir

Banjir memang bukan persoalan baru di Bahodopi, Kabupaten Morowali. Namun, kedatangan perusahaan-perusahaan smelter nikel memperburuk situasi. WALHI mengusulkan evaluasi industri yang sudah beroperasi dan moratorium izin tambang.

SAHRUL YUNIZAR, Morowali-DINDA JUWITA, Jakarta

DARI dalam pesawat yang membawa kami dari Bandara Mutiara SIS Al-Jufri, Palu, menuju Bandara Maleo, Kabupaten Morowali, wajah smelter nikel sudah terlihat.

Di Kabupaten Morowali Utara ada PT Gunbuster Nickel Industry (GNI).

Sementara itu, di bagian selatan, beberapa perusahaan pengolah nikel berdiri di kanan-kiri Jalan Trans- Sulawesi. Mulai Bungku Barat terus sampai Bahodopi, keduanya di Kabupaten Morowali. Di sana kawasan industri pengolah nikel raksasa bernama Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) beroperasi.

Geliat tersebut tak lepas dari ambisi menjadikan Indonesia salah satu pemain utama industri baterai kendaraan listrik. Tapi, ada harga yang harus dibayar untuk itu: dampaknya ke lingkungan.

Pada siang di akhir Februari lalu (26/2), di tepian salah satu ruas Trans-Sulawesi, kami bertemu Akhirul Azam yang sedang bermain bersama belasan temannya di halaman sekolah mereka, SDN 2 Kurisa, Bahodopi. “Kami mau latihan menari,” kata buyung 10 tahun itu kepada Jawa Pos.

Tak jauh dari tempatnya bermain, tampak kubangan air yang kata Azam sudah berkali-kali dikencingi anak-anak kelas 2. Air kecokelatan itu adalah sisa-sisa banjir yang merendam SDN 2 Kurisa. Memang tidak semua kelas di SDN 2 Kurisa bermasalah dengan banjir.

Namun, setiap kali hujan deras mengguyur Bahodopi, hampir pasti Azam dan teman-temannya tidak bisa belajar di sekolah. Menurut Mardiana, salah seorang guru di sekolah itu, banjir terjadi di SDN 2 Kurisa lantaran belum ada tali-tali air. Sementara sekolahnya berada tepat di bawah bukit. Kawasan IMIP berada di atas bukit tersebut.

Mardiana menuturkan, sudah ada rapat antara pihak sekolah, IMIP, dan pemangku kewenangan di Bahodopi. Mereka berniat membangun jalur air agar SDN 2 Kurisa tak lagi kebanjiran. Tapi, sampai akhir bulan lalu, niat itu belum terwujud.

Menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Sulawesi Tengah (WALHI Sulteng), banjir yang kerap merendam SDN 2 Kurisa, merupakan contoh dampak aktivitas industri pengolah nikel di Bahodopi. Kawasan yang dibangun dengan memakan lahan ribuan hektare itu mengakibatkan area resapan air berkurang. Alhasil, banjir datang setiap kali hujan deras.

Masyarakat Bahodopi secara umum juga merasakan masalah yang sama. Sebab, Jalan Trans-Sulawesi di Bahodopi semakin sering terendam banjir. Kondisinya kian buruk, karena lalu-lalang kendaraan besar milik perusahaan-perusahaan pengolah nikel. Lubang bermunculan di sana-sini.

Marlina, pekerja di salah satu rumah makan di Dusun Tabo, bercerita bahwa saat banjir datang, air masuk ke tempatnya bekerja. Lantaran berulang terjadi, dia dan masyarakat di sana akhirnya menganggap kondisi itu biasa saja.

Atau lebih tepatnya, itu konsekuensi yang harus mereka hadapi. Atas kedatangan berbagai perusahaan smelter nikel, yang menggeliatkan perekonomian setempat. Daerah yang tadinya sepi penduduk menjadi ramai.

Pendatang dari dalam dan luar kota berbondong-bondong mencari tempat untuk ikut mengais rezeki. Belum lagi kehadiran pekerja dari luar negeri, yang bahkan sangat kentara sejak bandara. Sebagian besar adalah tenaga kerja asing (TKA) dari Tiongkok.

Meski masyarakat Bahodopi dan Morowali secara umum menerima konsekuensi aktivitas industri pengolah nikel di daerah mereka. WALHI Sulteng menyatakan bahwa itu tidak lantas menghapus tanggung jawab pemerintah, untuk menyelesaikan masalah. Dan, tidak menambah persoalan baru.

“Untuk menangani banjir, harus ada langkah strategis yang dibuat pemerintah,” ucap Kepala Departemen Advokasi dan Kampanye WALHI Sulteng Aulia Hakim.

Banjir memang bukan persoalan baru di Bahodopi. Namun, lanjut Aulia, kedatangan perusahaan-perusahaan raksasa memperburuk situasi.

“Artinya, signifikan sekali wilayah hulu yang ditambang memberikan dampak banjir terhadap wilayah permukiman pekerja dan masyarakat setempat,” paparnya.

Kepada Jawa Pos, Media Relations Head PT IMIP Dedy Kurniawan mengaku cukup bingung terkait penyebab banjir di luar kawasan industri. Menurut dia, di kiri-kanan jalan poros utama atau Jalan Trans- Sulawesi hingga saat ini belum ada drainase.

Selain itu, dia menyebut tingginya kebutuhan tenaga kerja membuat ribuan orang datang. Buntutnya, terjadi lonjakan kebutuhan tempat tinggal, terutama tempat kos. “Sayang, pendirian rumah-rumah kos oleh warga ini tidak memperhatikan faktor lingkungan. Ada sejumlah anak sungai yang ditimbun, lalu didirikan rumah kos,” ujarnya.

Aulia tidak menampik, ada hal positif dari kehadiran perusahaan-perusahaan besar di Morowali. Namun, kerusakan lingkungan yang muncul tak lantas bisa ditoleransi.

Berdasar catatan WALHI Sulteng, ada dua poin penting yang harus dilakukan. Pertama, evaluasi seluruh perusahaan yang sudah beroperasi. Kedua, moratorium izin tambang.

“Semua harus dikontrol supaya industrialisasi atau hilirisasi yang dibangga-banggakan pemerintah. Tidak membuat lingkungan rusak dan masyarakat rugi,” kata Aulia. (*/c18/ttg/jpg)

Artikel Terkait

TINGGALKAN PESAN

Silahkan masukkan komentar anda
Silahkan masukkan nama anda

- Advertisement -

Artikel Terbaru