Tuesday, 16 December, 2025

Kaltara Hadapi Tuntutan Upah Tinggi

TARAKAN – Buruh memiliki peranan yang signifikan untuk ekonomi nasional, salah satunya sebagai penggerak sektor produktivitas dan kesejahteraan masyarakat.

Di Kalimantan Utara (Kaltara) buruh masih belum dinilai sejahtera, lantaran sebagian hak yang belum dipenuhi pihak perusahaan. Akademisi Ekonomi Kaltara Dr Margiyono mengatakan, berdasarkan struktur tenaga kerja di Kaltara, jumlah buruh dalam hal ini karyawan swasta seimbang dengan jumlah karyawan di lingkup pemerintahan.

Menurutnya, karakteristik ekonomi dari pekerja ini agak sedikit berbeda dibanding daerah lainnya. Daerah lain, yang mana tenaga kerja buruh lebih banyak. Sehingga pergerakkan ekonomi didominasi oleh daya beli karyawan swasta.

“Kalau di Kaltara ini seimbang roda perekonomiannya. Karena kita ini daerah perbatasan tentu seluruh kebutuhan instansi dalam hal ini pekerjanya pasti ada,” ungkapnya, Rabu (1/5).

Namun, ia menilai pekerja swasta atau buruh cenderung mengalami stagnan. Lantaran menurutnya terdapat batasan pada aktivitas baru yang muncul. Ia mencontohkan perusahaan dengan pekerja swasta yang besar di Tarakan seperti PT Inhutani. Menurutnya, beberapa tahun terakhir Inhutani tak dapat lagi mengeksplor kawasan hutan lantaran semakin minim.

“Tapi ini khusus untuk karyawan swasta yang basic pekerjaannya formal yang buruh. Tapi, angkanya lebih banyak pekerja yang informal, misalnya yang bekerja mandiri, itu besar sekali. Karakteristik pekerja di Kaltara ini juga lebih banyak di informal kalau untuk karyawan swastanya,” jelasnya.

Kaltara juga dihadapkan dengan tuntutan upah yang terbilang tinggi. Hal ini tak bisa dihindari. Lantaran kebutuhan pokok di Kaltara, diantaranya, kebutuhan pangan, transportasi dan biaya hidup cukup tinggi. Sehingga mengharuskan seseorang untuk menerima upah yang tinggi. Hal ini lagi-lagi berbeda jika dibandingkan dengan daerah lain seperti Jawa Timur.

Margiyono menguraikan, upah minimum di Jawa Timur sekitar Rp 1,4 juta hingga Rp 1,9 juta. Jika dikonversikan dengan upah di Kaltara setara dengan Rp 3,5 juta hingga Rp 4 juta. “Jadinya perusahaan khususnya yang baru berdiri itu tidak berani berinvestasi besar. Ini PR pemerintah supaya menarik investor agar mau berinvestasi yang sifatnya formal,” ungkapnya.

Terdapat dua pertimbangan yang perlu diperhatikan pemerintah dalam pengembangan ekonomi melalui tenaga kerja, yakni menaikan upah atau menurunkan harga kebutuhan pokok. Menurutnya, pilihan yang paling mudah ialah menaikkan upah. Namun, dalam menaikan upah tenaga kerja, investor akan tersakiti.

Jika dipilih menurunkan harga kebutuhan pokok diantaranya, tarif transportasi, perumahan, beras, sayur mayor dan lainnya maka tuntutan buruh untuk menaikan upah akan berkurang. Lantaran dengan upah yang dimiliki saat ini, buruh akan merasa hidup dengan layak. Margiyono menyebut jika pemerintah memilih menurunkan harga kebutuhan pokok. Maka produk dari kebutuhan yang disediakan harus ditingkatkan.

“Salah satu contoh, pemerintah harus berani meningkatkan produksi pertanian seperti sayur mayur yang ada di Kaltara, atau bahkan jasa transportasi dan perumahan yang dipasarkan dengan harga yang cukup rendah. Ini merupakan tanggung jawab dan peran pemerintah, bukan peran buruh apalagi perusahaan dan investor,” tuturnya.

Permasalahan tenaga kerja di Kaltara belum dianggap fundamental, khususnya bagi pemerintah provinsi serta kabupaten kota. Padahal, naiknya turunnya harga di suatu daerah menjadi tanggung jawab pemerintah sepenuhnya. Misalnya di suatu provinsi menjadi tanggung jawab Gubernur dan dibantu oleh Perwakilan Bank Indonesia daerah. Jika di kabupaten kota yang bertanggung jawab ialah Bupati atau Wali Kota dibantu oleh Perwakilan Bank Indonesia di bawah level provinsi. (kn-2)

Artikel Terkait

TINGGALKAN PESAN

Silahkan masukkan komentar anda
Silahkan masukkan nama anda

- Advertisement -

Artikel Terbaru