Bangunan dan jalan ditinggikan, rumah pompa didirikan, tapi tetap saja SMPN 2 Tanggulangin rutin kebanjiran yang sampai memaksa para murid belajar secara daring. Ratusan murid terpaksa belajar jarak jauh dan para pengajar harus menguras ruang guru sebelum memulai kelas daring.
FIRMA ZUHDI ALFAUZI-AHMAD REZATRIYA, Sidoarjo
DERU pompa air di SMPN 2 Tanggulangin, Sidoarjo, Jawa Timur, mengganti suara riuh siswa-siswi. Hanya 45 di antara 656 siswa di sana yang masuk Selasa (20/2) lalu. Sisanya belajar di rumah karena sekolah terendam banjir.
Ke-45 siswa ”terpaksa” masuk karena ada asesmen bakat dan minat bagi kelas IX. Sejak seminggu lalu, hujan deras dan pasang air laut membuat jalan di depan, halaman, bahkan ruang kelas di sekolah tersebut terendam banjir.
Sejak Senin (19/2), sebagian besar siswa harus belajar daring. Sebab, hampir seluruh ruang kelas terendam. Di antara 21 ruang kelas, hanya tersisa tujuh yang aman.
Asyri Basuki, salah seorang guru SMPN 2 Tanggulangin, mengungkapkan, karena sekolah tidak libur, tapi diganti belajar secara daring, para guru tetap harus masuk.
Otomatis, mereka harus menerjang banjir untuk sampai di sekolah. Sebab, air bah tidak hanya menggenangi sekolah, tapi juga akses menujunya. Para guru pun terpaksa parkir agak jauh dari sekolah. Mereka parkir di timur sungai masuk Desa Banjarasri, tetangga Kedungbanteng, desa tempat SMPN 2 Tanggulangin berada.
Ada beberapa guru yang memarkirkan motor sekitar 200 meter di sisi selatan sekolah. Lalu, dilanjutkan menerjang banjir dengan berjalan kaki.
“Pas Senin (19/2), ada yang maksa bawa motor masuk sekolah. Air sedang tinggi. Akhirnya mogok, terus nuntun,” ujar guru teknologi informasi dan komunikasi (TIK) tersebut.
Wakil Kepala SMPN 2 Tanggulangin Bagian Kurikulum Dwi Supriantoro menyatakan, rutinitas banjir ini terjadi sejak 2019. Karena itu, para guru sudah terlatih mengantisipasi kondisi tersebut. Salah satunya, memakai sepatu bot.
Bukan hanya antisipasi diri, tetapi juga dokumen penting. Saat jam pulang tampak mendung gelap, para guru dan staf sekolah langsung menaikkan sejumlah dokumen berharga ke atas meja dan lemari.
“Khawatir, kalau banjir, tiba-tiba dokumennya bisa basah dan rusak. Misal, buku presensi atau lembar penilaian,” ungkap guru mata pelajaran IPA tersebut.
Beruntung, saat pandemi Covid-19 lalu, para siswa dan guru terbiasa daring. Jadi, ketika para siswa kembali harus belajar jarak jauh, sudah tidak ada kendala. Namun, khusus para guru, sebelum memulai pembelajaran, mereka harus bekerja ekstra dengan menguras ruang guru. Setelah itu, ruangan tersebut dipel.
Selama ini banjir tahunan itu bukan tanpa upaya penanganan. Sekolah tersebut sempat ditinggikan 20 sentimeter. Jalan di depan sekolah juga sudah ditinggikan. Bahkan dibeton setinggi 45 sentimeter.
Di desa tempat sekolah tersebut berada, termasuk di desa sekitar, sudah dibangun rumah pompa. Tujuannya, penyedotan air lebih cepat. Bahkan, di dalam lingkungan sekolah sudah ada tiga pompa portabel yang disiapkan khusus untuk menyedot air dari lingkungan sekolah.
Namun, karena sekitar sekolah juga banjir, pemompaan seakan sia-sia. Menurut Dwi, solusi terbaik memang relokasi. Guru, wali murid, dan siswa juga sudah sepakat dengan opsi tersebut.
Usulan itu disampaikan ke Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Sidoarjo sejak 2021. Idealnya, menurut dia, mereka direlokasi ke Desa Putat atau Ngaban, di Kecamatan Tanggulangin. Aman dari banjir, tapi lokasinya tidak begitu jauh dari sekolah saat ini.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Sidoarjo Tirto Adi mengakui, usulan relokasi tersebut sudah diajukan. Bahkan kini menjadi salah satu pembahasan untuk solusi jangka panjang.
Namun, praktiknya tidak mudah. Anggaran yang dikeluarkan juga tidak sedikit. Karena itu, pihaknya akan mengawali dengan kajian lebih dulu. “Diawali dengan proses feasibility studies dulu,” ujarnya.
Jadi, lanjutnya, tidak asal relokasi. Terutama untuk menentukan titik mana yang paling tepat sebagai titik baru relokasi sekolah. “Sehingga desa sekitar tetap ter-cover dan ada pemerataan akses pendidikan,” tandasnya. (*/c14/ttg/jpg)