Menjadi dokter forensik adalah pengabdian. Punya peran signifikan, tapi tak mudah populer seperti dokter spesialis yang lain. Sebab, mereka hanya ”muncul” saat ada tragedi, bencana, atau musibah besar yang menyedot perhatian publik.
KOMBES Sumy Hastry Purwanti bersentuhan dengan dunia forensik sejak masih di kedokteran kepolisian. Ketika itu dia terlibat dalam penanganan Bom Bali I pada 2002. Pada tahun itu, seingat dia, Polri hanya punya tiga dokter forensik. Dan, semuanya dia jumpai saat ikut sibuk menggali fakta di tempat kejadian perkara (TKP).
“Saya ketemu senior-senior saya dokter forensik tiga orang di Bali. Sekarang mereka sudah pensiun semua,” kenang Hastry saat dijumpai Jawa Pos pada Selasa (6/2).
Kasus forensik lain yang menggerakkan hatinya dia tangani pada 2005. Ketika itu dia membantu para penyidik dari Polrestabes Semarang mengusut kasus pembunuhan. Alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (Undip) itu begitu terkesan pada pengalamannya tersebut.
Sejak saat itulah dia memantapkan hati untuk berkarier sebagai dokter forensik. Apalagi, jumlah dokter forensik di Indonesia belum banyak. Ketimpangan jumlah dokter forensik jika dibandingkan dengan kebutuhannya itu membuat beban kerja mereka berat.
Apalagi saat dihadapkan pada tragedi, bencana, atau musibah besar. “Polisi itu butuh banget dokter forensik,” ujar Hastry. Kata-kata yang meluncur dari mulut atasannya pascakasus pembunuhan 2005 itu masih terus dia pegang.
Bahkan setelah dia menyandang pangkat komisaris besar seperti sekarang. Saat ini, menurut Hastry, jumlah dokter forensik di kepolisian sudah naik sepuluh kali lipat dibandingkan saat kali pertama dirinya bertugas. Dari tiga menjadi 30.
Bahkan, ada pula dokter-dokter forensik perempuan di Polri. Sebagai polwan pertama yang menjadi dokter forensik, tentu kehadiran dokter-dokter forensik perempuan membuatnya lega. Hastry bersyukur bisa menginspirasi para polwan lainnya untuk menekuni ilmu forensik.
Hampir semua polda, menurut Hastry, punya satu dokter forensik yang bertugas di tiap Rumah Sakit Bhayangkara. Namun, jumlah itu sebenarnya belum ideal. “Minimal sepuluh (dokter forensik, Red) di setiap provinsi harusnya,” ungkapnya.
Jika angka ideal itu terwujud, Hastry yakin dokter forensik punya lebih banyak ruang untuk berkembang. Sebab, beban kerja jadi lebih ringan. Penting bagi dokter forensik mau dan mampu mengembangkan diri. Apalagi, peran mereka sangat vital dan bahkan tidak jarang merekalah yang menjadi penentu jalannya penyidikan.
“Kami berburu dengan waktu kematian. Makanya, kami kadang tidak lihat waktu. Kalau diminta otopsi, ya segera berangkat,” kata Hastry.
Pertimbangan itu pula yang membuatnya selalu bersedia terlibat dalam kasus-kasus besar selain Bom Bali I. Di antaranya, kecelakaan Lion Air di Solo (2004), Bom Kedutaan Besar Australia (2004), Bom Bali II (2005), gempa bumi Jogjakarta (2006), kecelakaan Sukhoi di Gunung Salak (2012), dan kecelakaan MH-17 di Rusia (2014).
Menjadi dokter forensik, kata Hastry, harus mampu melakukan tiga hal. Pertama memastikan waktu kematian, kedua mengidentifikasi cara kematian, dan ketiga menemukan penyebab kematian. Semuanya penting untuk penyidikan. “Dokter forensik itu passion karena berbuat sesuatu yang mungkin orang anggap aneh,” ujarnya.
Secara karier, Polri sangat mendukung dokter forensik untuk berkembang. Banyak kesempatan beasiswa untuk studi S-2 dan S-3 di dalam dan luar negeri. Namun, tanpa passion, menjadi dokter forensik akan sangat sulit. “Harus ada panggilan hati. Benar-benar menjiwai dan tidak berharap banyak untuk menjadi kaya raya,” katanya, lalu tersenyum.
Saat ini, untuk mencukupi kebutuhan dokter forensik, Polri bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia (PDFI). Kerja sama itu penting lantaran jumlah dokter forensik di internal Polri juga belum cukup banyak. Kini, dalam kasus-kasus besar, Polri menggandeng PDFI. Kuatnya sinergi Polri dan PDFI dibuktikan dengan adanya dokter forensik Polri yang menjadi anggota PDFI.
Jika pada umumnya dokter bisa menanyakan langsung keluhan pasien, tidak demikian dengan dokter forensik. Pasien mereka tidak bisa bicara. Bahkan sudah terbujur kaku dan kadang tidak dalam kondisi utuh.
“Kami menggunakan ilmu kedokteran untuk mengungkap penyebab kematian korban dan kepentingan peradilan,” kata dr Stephanie Renni Anindita SpFM saat dihubungi Jawa Pos pada Kamis (1/2).
Tugas dokter forensik, menurut dia, adalah membantu memberikan keadilan kepada mereka yang tidak bisa lagi bicara. Perempuan 36 tahun itu menyatakan, kadang ada perbedaan antara temuan dokter forensik dan kronologi yang didapat dari penyidik.
Dia pernah menangani kasus pembunuhan yang informasi awalnya adalah kecelakaan lalu lintas. Ditemukannya luka signifikan pada bagian leher melunturkan kecelakaan sebagai penyebab kematian.
“Kalau kecelakaan, pasti yang kena bagian tubuh yang terbuka kayak dahi, pipi, tangan, atau kaki. Tapi, yang saya temukan, ada lecet itu pada bagian leher,” ungkapnya.
Informasi disertai bukti dari Stephanie itu lantas membongkar fakta bahwa korban dibunuh. “Sama pelaku, leher korban dicekik. Lalu, korban dilempar ke pinggir jalan,” ungkapnya.
Secara prosedural, bagaimana biasanya dokter forensik memeriksa para pasiennya? Stephanie menjelaskan, begitu menerima pasien, dokter akan berkomunikasi dengan penyidik dari kepolisian untuk mencari tahu kronologi kematiannya. Setelah itu, dokter forensik melakukan pemeriksaan luar. Jika ditemukan indikasi tindak pidana atau ada permintaan untuk melakukan pemeriksaan dalam alias otopsi, barulah dokter melakukannya.
“Jika sudah jelas pidana seperti pembunuhan, penyidik pasti meminta otopsi. Tetapi, kami tetap melakukan pemeriksaan luar dulu,” ujar dokter yang kini mengajar di Universitas Kristen Duta Wacana, Jogjakarta, tersebut.
Jika diperlukan, lanjut Stephanie, bisa dilakukan pemeriksaan penunjang seperti toksikologi untuk mendeteksi racun. “Pemeriksaan luar bisa menjawab perkiraan waktu kematian dari perubahan yang ada pada tubuh jenazah, tanda-tanda pembusukan dalam perut, hingga tanda kekerasan. Luka memar atau lecet itu akibat benda tumpul, luka terbuka akibat benda tajam,” urai Stephanie.
Durasi pemeriksaan dalam bisa beragam. Jika penyebab kematiannya adalah kekerasan, otopsi selama 3–4 jam sudah bisa mengungkap detailnya. Lain halnya jika penyebab kematian adalah racun. Akan dibutuhkan waktu antara 1–2 pekan untuk mengetahui detail kematiannya. Sebab, diperlukan pula pemeriksaan laboratorium. “Di forensik itu, kalau tidak melihatnya, ya kita tidak boleh ngomong ada,” tegasnya.
Menekuni dunia forensik sejak menjadi dokter magang pada 2012 sebelum berfokus sebagai pengajar, Stephanie tidak bisa menyangkal bahwa emosinya sering larut bersama kesedihan dan kepedihan keluarga korban.
“Tiap saya kasih tahu untuk datang ke forensik, hati saya ikut hancur melihat keluarga korban. Kadang saya mencegah mereka melihat korban jika kondisinya hancur atau sudah membusuk. Sebaiknya keluarga mengingat korban dalam keadaan yang baik saja,” tandasnya. (syn/c19/lai/c14/hep/jpg)